Senandika Rasa
Goresan aksara ini masih tentangmu. Di mana bait-bait terangkai merefleksikan jeritan renjanaku yang terjebak akan kepingan nostalgia dari kisah kasih kita. Tak peduli meski ribuan kata telah terukir hanya untuk menceritakan dirimu—sosok yang kucinta. Kira-kira dari sekian banyak aksara kurangkai, mana yang berhasil tersampaikan padamu? Ah, sungguh menerka-nerka itu tak menyenangkan. Dan aku benci itu! Sebab banyak sekali pertanyaan tentangmu berakhir menggantung di benakku setelah perpisahan kita tanpa menemui jawab. Katakan, bagaimana caranya untuk berhenti? Di saat dirimu hanya mengajarkanku perihal rasa, dan menjeratku pada asmaraloka yang tak berujung. Lalu ketika dirimu pergi, aku pun bak buta arah tanpa tahu jalan ke titik semula. Seolah ke mana pun melangkah, hanya buntu kujumpa. Apa tak ada kesempatan untuk kisah kita? Aku benar-benar menginginkanmu, sekali lagi. Tetapi kali ini untuk selamanya karena menjalani hari tanpamu itu menyiksa, hampa. Apalagi tak kala rindu ini bergejolak meminta temu, namun yang bisa kudekap hanya bayang semu. Atmaku bahkan hingga kini masih mendambakanmu. Berharap menemukan jalan 'tuk kembali bersatu. —Persephone.
Komentar
Posting Komentar