Mengapa Saya harus Menikah?
Ada sebuah kisah pasangan yang dulunya pernah berzina lalu hamil dan melahirkan anak perempuan. Lalu si Ayah bertanya "Ustadz saya dulu pernah muda dan terkadang melampaui batas saya melakukan perzinaan dengan pacar saya yang sekarang sudah menjadi istri saya, lalu pacar saya hamil dan melahirkan seorang anak perempuan. Ustadz, kami sudah bertaubat kami datang ke kajian-kajian. Yang ingin saya tanyakan apakah nanti ketika anak saya menikah saya bisa tetap menjadi walinya?" Ustadz menjawab "maaf Pak, saya tau bapak InsyaAllah orang yang telah kembali kepada Allah. Namun, selama anak itu terbentuk sebelum terjadinya ijab qobul tetap tidak bisa walaupun bapak adalah bapak biologisnya karena itu merupakan konsekuens pahit dari sebuah akibat terjadinya perzinaan".
Inilah yang menjadikan kita harus paham bahwasannya ternyata persoalan menikah itu bukan hanya menyatukan dua sisi rasa manusia yang berjumpa dalam satu atap mahligai bernama pernikahan. Tapi ternyata sebuah pernikahan itu memiliki banyak sekali prespektif yang terkadang harus kita pahami dengan Ilmu.
Banyak sisi gelap dalam pernikahan yang tidak diketahui laki-laki dan juga perempuan, hal ini disebut juga dengan blind spot. Di mana ketika kita menikah banyak sekali sisi gelap yang sering tidak kita mengerti yang menjadikan kita semakin paham bahwa kebutuhan kita kepada ilmu di dalam pernikahan itu jauh lebih besar daripada kita memiliki rumah, mobil, bahkan kebutuhan pangan setiap waktunya.
Imam Ibnu Rajab: "Kebutuhan kamu terhadap ilmu lebih besar daripada kebutuhan kamu kepada makan dan minum". Kebutuhan keluarga terhadap ilmu adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar karena sesungguhnya saat seseorang menikah tanpa dengan panduan ilmu banyak sisi gelap yang menjadi jebakan dan bisa terperosok ketika dia tidak mengerti bagaimana menyikapi pernikahan itu dengan ilmu yang harusnya dia dapatkan dan dia pelajari lalu dia realisasikan pada kehidupan.
Pernikahan itu ibadah terpanjang dalam kehidupan manusia dan merupakan separuh agama. Kalaulah pernikahan itu separuh kehidupan agama dan pernikahan itu merupakan ibadah terpanjang, lalu kita tidak memiliki ilmu di dalam pernikahan itu lantas dengan kita bermodal cinta dan sayang yang ada pada hati kita dan endorphin yang ada di pikiran kita, akan bertahan berapa lama penikahan?
---
Pernikahan itu bukan hanya tentang suka cita ketika orang yang kita harapkan bersanding dengan kita. Tapi itu adalah sebuah cinta, cinta yang didasari komitmen dan komitmen itu tidak akan kita dapatkan sampai kita memiliki ilmu.
Dari kisah di atas, bisa menjadi insight bagi kita bahwa ilmu adalah hajat besar dalam kehidupan kita.
Tidak mungkin hati itu akan didekap dengan kehangatan bersama melewati banyak musim pada perjalanan hidup manusia kecuali dengan Ilmu.
Perempuan sebagai istri memiliki panjang sekali perasaan tetapi memiliki pendek logika, begitupun sebaliknya bahwa laki-laki sebagai suami memiliki panjang logika tetapi pendek perasaan. Kalau kita tidak bertemu pada suatu titik yang bernama ilmu maka wanita akan merasa tersakiti dan lelaki akan merasa terlukai. Inilah yang menjadikan kita paham bahwa ilmu adalah nasehat bersama bagi setiap pasangan ketika menikah dan sebelum menikah.
Allah sudah takdirkan kita dengan seseorang yang sudah Allah siapkan 50.000 tahun sebelum Allah ciptakan langit dan bumi, maka menghadirkan makna dan dia dalam perjalanan hidup kita itu harus dengan ilmu.
Ada kisah pernikahan antara Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy. Dua-duanya disebutkan oleh Allah namanya di dalam Al-Qur'an, secara karakterpun diakui kesholihannya. Tetapi ketika mereka menikah terjadi perpisahan (perceraian).
Makna :
Orang yang sholih/berilmu saja belum menjamin dan memberikan garansi keselarasan dan kebersamaan hingga kematian memisahkan apalagi kita yang apabila tidak mencari ilmu. Jadi sesungguhnya keluarga adalah part terpenting yang harus kita sikapi dengan ilmu, agar ilmu itu :
- Meluruskan yang bengkok
- Membersihkan yang keruh
- Membeningkan yang kotor
Ilmu itu berfungsi untuk menghindarkan kita dari benturan-benturan.
Lalu mengapa kita disyariatkan untuk menikah? Karena sesungguhnya menikah itu membentuk keluarga dan keluarga itu perkara besar, syariat pernikahanpun tidak main-main. Syariat pernikahan itu disebut misaqan ghalidza (ikatan yang kuat) melibatkan dunia dan akhirat manusia. Pernikahan itu merupakan syariat yang istimewa karena satu-satunya syariat yang ada pada kehidupan di Surga (akhirat), sholat selesai puasa selesai dzikir selesai, tetapi tidak dengan pernikahan. Inilah alasan-alasan:
- Pernikahan membentuk keluarga.
- Menikah itu ibadah terpanjang.
- Pernikahan itu menyempurnakan separuh agama.
Tidak hanya itu, mengapa kita harus menikah? Karena menikah juga menjadi bagian kehidupan iman, karena di dalam pernikahan tidak hanya memberikan ketenangan dan bukan hanya sekedar kepuasan.
Antara Pernikahan dan Kompetisi
Pernikahan itu bukanlah kompetisi.
Ada 5 hal yang perlu dibedah :
1. Imam Ahmad bin Hambal seorang Ulama besar yang kemampuannya urusan agama dan akhirat tidak perlu dipertanyakan. Beliau baru menikah di usia 40 Tahun dengan wanita benama Abasah binti Fadhl. Walaupun di usia yang tidak lagi muda, tapi MasyaAllah karena pernikahan Imam Ahmad ini layak dijadikan sebagai role model karena ternyata selama 20 tahun menikah mereka tidak pernah bertengkar sampai sang istri meninggal dunia. Dari hal ini menyatakan bahwasannya pernikahan ini bukan soal angka semata. Pernikahan adalah kesiapan, persiapan, dan pernikahan itu melalui proses takdir yang ditentukan oleh Allah. Terkadang sudah bersiap-siap, tetapi bila takdirnya belum datang ya tidak akan datang. Kadang kita hanya memahami dari segi persiapan, dari sisi kematangan biologis kita tetapi lupa bahwasannya pernikahan merupakan takdir Allah.
2. Pernikahan itu memiliki jalur masing-masing. Allah membagi waktu manusia itu tidak sama, ada yang disegerakan ada pula yang dilambatkan dan itu merupakan hak prerogatif yang Allah berikan. Kita tidak bisa mengintervensi apa yang tidak bisa kita lakukan. Don't interupt your God. Frustasi dan depresi itu datang saat kita sudah mulai mengintervensi Allah.
3. Jangan hancurkan keagungan pernikahan hanya karena ingin mendapatkan kepuasan ketika kita menikah segera karena tidak ingin dianggap "telat". Banyak orang yang memiliki mulut yang buruk, tapi itu hanya sepanjang lidahnya. Sedang kita harus memiliki hati yang besar bahwasannya ketika kita mendapat ilmu kita tidak perlu digelisahkan oleh komentar buruk orang lain. Jangan karena komentar manusia membuat kita merubah makna pernikahan itu agung dan berubah rusak karena pernikahan digunakan sebagai kompetisi.
4. Harus mengerti bahwa setiap orang memiliki jam keberangkatannya masing-masing. Maka sesungguhnya kita tidak perlu memaksakan jam kita sama dengan jam terbang orang lain. Selama belum, dan kita menjaga diri dari perkara yang haram dan menyibukkan diri dengan ketaatan maka kita sudah menerima dan percaya bahwa kita memiliki jam keberangkatan yang berbeda-beda.
5. Mengambil hikmah. Pentingnya memahami hikmah supaya terciptanya kelapangan hati. Terkadang Allah memberi hikmah seperti contoh "oh mungkin saya belum menikah karena saya masih perlu merapikan hati saya". Semua itu tidak bisa kita pisahkan.
Jangan Trauma dengan Pernikahan.
Ada orang yang memang melihat pernikahan itu dari sifat yang kelam dan membentuk rasa trauma pada diri. Mungkin dari bapak ibu yang kerap bertengkar, pernah menikah lalu bercerai, melihat kakak hancur dalam rumah tangga, perang dingin dalam keluarga yang berefek pada psikologinya, dll. Tentunya hal ini harus disikapi dengan benar bahwasannya kita tidak selalu takdir itu sebagaimana mekarnya bunga yang dapat membentuk memori indah terhadap bunga tersebut. Kitapun harus paham bahwa di dalam pernikahan pasti ada takdir pahit.
Ada sebuah kisah Hasan Al-Bashri saat datang ke kota Makkah :
Beliau menjumpai di satu pasar ada seorang pedagang yang rela bersumpah dan melakukan apa saja supaya dagangannya laku. Dan Hasan Al-Bashri melihat bagaimana pedagang ini melakukan banyak tips and trik supaya dagangannya laku, maka sampai Hasan Al-Bashri merasa bahwa orang ini tidak akan berkah bila menggunakan cara itu dalam berdagang. Setelah 2 Tahun berlalu, Beliau datang kembali ke Makkah masuk ke pasar dan Beliau lihat dari kejauhan ada seorang pedagang yang sangat ia ingat bahwasannya pedagang tersebut adalah pedagang yang menggunakan berbagai macam cara untuk melariskan dagangannya. Namun setelah 2 Tahun tadi, Hasan Al-Bashri menemukan pedagang itu berubah 180 derajat yakni tidak menghalalkan berbagai macam cara untuk melariskan dagangan. Perbedaan yang mencolok ini menjadikan Hasan Al-Bashri mencoba untuk mengambil ilmu lewat bertanya mengapa kondisinya sangat berbanding terbalik dengan 2 Tahun lalu.
Pernikahan vs Pacaran
Allah menciptakan manusia dengan settingan untuk mendapatkan ketenangan. Ketenangan itulah yang justru didapatkan dari saat manusia ini mendapatkan lawan jenis yang disatukan dalam pernikahan. Jadi sebenarnya, ketenangan inilah yang diharapkan saat seseorang menikah.
Pernikahan yang diawali dengan sesuatu yang benar, akan mendapatkan ketenangan dan kelapangan. Memang benar saat menikah itu harus ada yang dikorbankan seperti egoisme, hobi (yang terlalu mendominasi). Tetapi tidaklah yang kita tinggalkan sesuatu itu karena Allah, semata-mata Allah pasti ganti dengan ganti yang lebih besar. Menikah memang meninggalkan waktu main kita, meninggalkan hobi kita yang terlalu mendominasi, tapi kalau memang tujuan pernikahan itu karena Allah, maka Allah akan memberikan kepada kita sebuah ketenangan dan ketenangan itulah yang Allah titipkan kepada kita melalu jodoh kita.
Janganlah kita memandang pernikahan dari prespektif orang yang tidak beriman.
Adapun golongan yang memang menganggap menikah itu menambah biaya dan merepotkan, akhinya mereka memilih untuk jalur berzina. Sebagai perumpamaan "kalau ingin menikmati sate mengapa harus memelihara kambing? Ini merupakan kalimat justifikasi untuk membenarkan perilaku perzinaan. Tapi menikah ini bukan persoalan memakan sate, karena pernikahan ini merupakan tentang sisi ketenangan yang kita dapat ketika kita belajar bertanggung jawab bertemu dengan apa yang kita cintai, lalu merangkai cerita dan kisah dalam perjalanan, membuat kurikulum kehidupan dan itulah banyaknya kualitas kehidupan didapatkan ketika seseorang itu menikah.
Pernikahan itu mendidik kita dewasa, perniakahan itu bagian dari Fitrah, dan pernikahan itu memberikan kualitas dalam kehidupan kita.
Proses menuju pernikahan manusia dihamparkan 2 pilihan :
1. Pacaran
2. Ta'aruf
Sesungguhnya manusia diuji dari proses sebelum pernikahan banyak kita jumpai manusia yang tidak terseleksi dengan benar dalam proses pernikahan. Mengapa? Karena banyak manusia yang menuju pernikahan, ketika kekuatan biologisnya sudah terbentuk, lalu tidak sadar dan tidak kuat untuk menahan laju kekuatan biologisnya, kekuatan untuk mencintai dan dicintai, akhimya mengambil jalan pintas dengan berpacaran yang ditawarkan dalam berpacaran adalah topeng. Dalam pacaran, orang hanya akan memakai topeng dari sifat karakter asli pada dirinya. Karena ketika berpacaran ingin memperlihatkan sisi terindah saja pada dirinya.
Bagaimana keluarga yang akan kita bentuk memiliki imun yang kuat dalam ketahanan keluarga yang akan kita miliki kalau kita membuka prosesnya dengan berbagai macam dosa yang sejatinya membuka virus dan bakteri dan bisa menyerang imunitas ketahanan keluarga kita jika didahului dengan proses pacaran. Inilah yang diharapkan oleh setan.
Said bin Musayyib:
setan itu memiliki 2 strategi ketika melihat manusia dimabuk asmara sebelum mereka menikah. Yakni, menjadikan setiap perjumpaan dan kesan yang mereka miliki begitu indah kepada pasangannya. Diberi bumbu-bumbu tambahan rasa menjadikan orang pacaran itu terus nikmat. Maka dari itu mengapa orang yang berpacaran terbilang sulit diberi nasehat, karena setan memasang candu. Visi misi setan adalah supaya jiwa tertumpangi dengan masalah birahi akhimya terjadilah perzinaan. Perzinaan itu merusak beberapa aspek, yaitu
- Merusak agama
- Merusak kehormatan
- Merusak nasab
Pernikahan vs Pacaran
Medan terberat lelaki adalah wanita. Medan terberat wanita adalah saat wanita sudah memberikan rasa dan perasaan pada laki-laki.
Pacaran itu hanya membuka lembaran-lembaran hitam yang membuat manusia terjatuh dalam banyak masalah di kehidupan. Banyak sekali ditemui menormalisasi perilaku ini karena disebabkan oleh berubahnya neraca dalam kehidupan kita. Pacaran tidak akan menunjukkan bagaimana keburukan yang dimiliki oleh seseorang, beda dengan Ta'aruf. Inilah hebatnya setan.
Ta'aruf itu merupakan sebuah proses yang dilakukan seseorang yang menjaga kehormatannya ketika ingin melabuhkan cintanya kepada lawan jenis. Ta'aruf juga menyertakan pihak mediator ke-3 lalu melakukan komunikasi dengan disaksikan oleh mediator pada pembicaraan tentang prinsip (bagaimana dia dengan orang tua, dengan komunitas, dengan sahabatnya, manajemen emosinya, dan sebagainya).
Kita mendapatkan dua opsi dalam pernikahan, dua opsi inilah yang harus menjadi renungan untuk kita. Pacaran tidak mendekatkan jodoh sebagaimana tidak pacaran itu juga tidak menjauhkan jodoh. Karena pacaran adalah jalan yang dibuat setan. Hal ini menjadi pembahasan penting agar mindset kita tidak terbentuk secara instan dari apa yang kita lihat.
Kehidupan menghadapkan kita dengan banyak pilihan. Pilih dengan benar dimulai dari satu mindset pernikahan itu merupakan hajat kita. Pernikahan itu merubah :
- Haram menjadi Halal
- Gelisah menjadi Tenang
- Berantakan menjadi Rapi
Ada orang yang mengatakan bahwa pacaran dan ta'aruf itu sama. Nilai dan value dari ta'aruf yang menurun itu bukan karena syariat ta'aruf yang salah, tetapi hanyaknya ketidak benaran cara ta'arufnya. Ta'aruf tidak memberikan efek memori jangka panjang karena tidak terlibat secara mendalam.
Jadi proses bertemunya kita dengan our half dien dalm mahligai pernikahan, hindari setiap kenikmatan yang haram sebelum menikah supaya tidak menghilangkan kenikmatan sesudah menikah. Kenikmatan yang halal akan hilang dikarenakan banyaknya kenikmatan haram yang sudah dicicipi.
Antara Pernikahan dan Kompetisi
Ada atau bahkan banyak dari anak muda menempatkan pernikahan itu sebagai kompetisi, berlomba-lomba untuk segera mendapatkan jodohnya. Memang pernikahan itu sebuah syariat diantara tiga syariat yang memang harus disegerakan, seperti :
1. Sholat saat sudah tiba waktunya
2. Membayar hutang
3. Pernikahan
Tetapi menyegerakan itu berbeda dengan menjadikan hal itu sebagai kompetisi karena memang diantara keduanya jelas sangat berbeda. Ketika kita menikah dengan alasan terburu-buru dengan menjadikan pernikahan itu kompetisi pasti akan ada kalah dan menang seakan-akan siapa yang menikah lebih dulu dia akan menang.
Jebakan Setan
Tidak ada pernikahan yang sempurna. Tidak akan mungkin kita mendapat itu karena ada sebuah contoh yakni Nabi bercerai dengan Hafshah walaupun kemudian rujuk kembali dengan İzin Allah, tapi itu memberi arti pada kita kalaulah Rasulullah orang yang paling bertakwa saja beliu pernah bercerai dengan alasan yang sangat syar'i.
Itupun memberi arti bahwa kadang setan itu datang menyergap pikiran kita mengkudeta hati kita dengan mengatakan hal-hal yang membuat kita membut standart yang terlalu tinggi dan tidak masuk akal yang tanpa kita sadari standart itu menbuat kita terus melambat. Jangan buat standart terlalu tinggi kalau memang kita juga tidak memiliki standart yang tinggi itu sendiri (terutama fısık) jangan dijadikan fisik sebagai standart yang pertama.
Ada juga godaan setan lewat karir yang membuat seseorang mempunyai prinsip "saya mau menikah saat saya sudah kaya saja" padahal ada seorang yang mengatakan bahwa kekayaanpun bisa didapatkan dari pernikahan karena pernikahan adalah sebuah tim dan dapat menjadi support system. Jangan jadikan standart karirmu menjadi standart kesiapanmu untuk menikah.
rangkuman kajian (adeeztric).
Komentar
Posting Komentar